Sejak tadi, Tum berbaring terlentang di tempat tidur.
“Bagaimana ini, kok, Tum susah betul dibangunkan, Mbak?”. Om
menepuk-nepuk pundak Tum, menggoyang-goyang tangan dan kaki Tum; Tum tidak
bangun. Om mencubit lengan Tum keras-keras; Tum tidak bangun. Lalu,
ditempelkannya telinga kirinya ke dada Tum.
“Detak jantungnya oke! Mungkin Tum cuma kecapekan, Mbak!”
“Entahlah, Om, tadi, Tum pulang langsung masuk kamar, minta
dibangunkan jam lima!” Dengan hati-hati, Om membuka mata Tum. Beberapa pembesuk
mendekat, ingin ikut melihat. “Matanya juga normal!”
Mendengar penjelasan Om, istri Tum jadi agak tenang.
Sementara itu, Tum mendengar apa yang sedang terjadi. Tum mendengar ketika
istrinya tadi membuka pintu dan berusaha membangunkannya. Tapi, Tum tidak bisa
menggerakkan tubuhnya, sedikitpun, meski sadar bahwa dirinya tidak sedang
tidur. Tum ingin sekali berteriak “aku nggak bisa bergerak!” tetapi ia tidak
bisa.
Pukul empat tadi, kesemutan merambat dari ujung kaki Tum.
Perlahan-lahan, kakinya terasa hilang. “Lho, Ma, kakiku lenyap! Coba lihat
kakiku apakah memang lenyap?” teriaknya dalam hati. “O, istriku tidak bisa
mendengar. Bertahun-tahun menjadi pasangan hidup tidak menjamin yang satu mampu
membaca hati dan pikiran yang lain.” Pikiran semacam itu membuatnya geli dalam
hati, tapi sekonyong-konyong berubah jadi gelisah, sebab kesemutan itu tidak
berhenti di pangkal paha, perlahan-lahan menjalar. Menjalar naik ke kemaluan,
perut, dada, hingga sampai di leher. Kini, bahkan Tum merasa hanya tinggal
punya kepala. Ia pun sangat ketakutan dan berusaha berteriak. Tapi, orang-orang
itu tidak mendengar teriakan hatinya. “Tuhan, tolong, tolong! Bagaimana mungkin
nanti kurayakan Paskah hanya dengan kepala saja, tanpa badan?” Mulutnya tidak
bisa bergerak sedikit pun. Tum jadi mengerti betapa ajaib mulut manusia, betapa
berguna kata-kata. Kini, Tum kalut dalam ketidakberdayaannya.
“Sebaiknya, Tum dibawa ke rumah sakit, Bu!”
”Tapi, Dok, rumah sakit sangat jauh…nanti jam tujuh Paskah
dimulai!”
“Lho, penting perayaan Paskah atau keselamatan Tum?”
Istri Tum bertambah galau. Ia telah berlatih mazmur selama
sebulan. Baru kali itu, ia diberi kesempatan tampil di Gereja. Ia sangat
bersemangat, sampai-sampai hafal seluruh baitnya. Ia terlanjur menulis banyak
status di facebook tentang ditunjuknya ia sebagai pemazmur malam paskah tahun
ini. Sementara itu, Tum tidak bisa merasakan apa-apa lagi, kecuali perasaan
sangat takut. Ia seperti sedang berada di tempat yang gelapnya seribu kali
gelap yang pernah ia alami. “Apa aku ini sudah mati?”
Setelah beberapa jam dirawat, Tum bisa membuka mata.
Mula-mula, ia silau, melihat lampu yang tergantung di plafon rumah sakit.
Heranlah ia mengamati sesuatu yang sepertinya pernah ia kenal, tetapi itu apa?
Sesuatu yang bersinar, tergantung di bidang luas di atas kepalanya. Sekat-sekat
yang ada di depan, kanan-kiri, lobang kotak-kotak, dan sesuatu yang transparan
itu. Oh, bagusnya, di sana ada yang bisa terlihat dari sini. Benda-benda yang
bergerak dan mengeluarkan suara, berbagai bentuk yang berwarna-warni. Tapi itu
apa? Tum hanya bisa melihat, tak bisa mengerti, seolah dia hanyalah sepasang
mata yang menyaksikan “sesuatu”. Istri dan anak-anak Tum menangis. Istrinya
telah berkali-kali menciuminya, membisikkan sesuatu dengan bibir ditempelkan di
telinga Tum: “Maafkan aku…jarang memperhatikanmu. Sesungguhnya aku sangat
mencintaimu, Tum! Aku sangat takut, jangan sampai kau meninggalkan kami,
Pa…Sayang!”
Tetapi Tum belum bisa mengerti. Tum bahkan belum menyadari
kehadiran istri dan anak-anaknya, yang sejak tadi berdoa Bapa Kami.
Setelah dua jam perawatan, Dokter merekomendasi agar Tum
dipulangkan. Para tetangga telah menunggu. Sesampai di rumah, Tum dibawa ke
kamarnya. Ia didudukkan, diajak berbicara, tetapi belum mengerti apa-apa.
Suasana di rumah itu mencekam beberapa jam, hingga pada suatu ketika, Tum
merasa ada sesuatu yang bergerak.
“Benda apakah ini? Sepertinya aku pernah tahu ini.” Ia
berusaha mengingat-ingat. “Ini…?
Ini…o, ini tangan.
Ya, ini tangan…tangan siapa? Tangan ini bisa kugerak-gerakkan. Eh, ini
tanganku, kan? O, iya…ini tanganku!” Ia merasakan kegembiraan yang luar biasa
hanya karena merasa mempunyai sepasang tangan. Ia gerak-gerakkan tangan kanan
dan kirinya dengan gembira. Ia begitu menikmatinya. Sepuluh menit ia melakukan
hal itu, hingga tanpa sengaja, tangan kanannya menyentuh rambut. Rasanya enak
ketika tangannya menyentuh rambutnya. Ia mengulangi dan mencoba menyentuh
dengan lembut. “Hei, apakah ini? Sesuatu yang enak disentuh.”Tum mencoba
mengingat-ingat. Alangkah menakjubkan bisa mengingat sesuatu. Setelah lima
menit, ia bisa mengingat bahwa itu adalah rambutnya. “Aku punya dua tangan, dan
rambut yang enak disentuh!” Tangan dan matanya pun mencari-cari apa yang ada di
dekatnya, dan lama-lama ia bisa menemukan hidungnya sendiri, mulutnya,
telinganya, badan, kaki, dan seluruh tubuhnya sendiri. Kegembiraanya tidak bisa
dilukiskan, sebab begitu tiba-tiba, dari merasa tidak mempunyai apa-apa, ia
menjadi memiliki banyak hal yang menakjubkan. Ketika tangannya bergerak-gerak
di depan matanya sehingga menghalangi pandangan, ia pun jadi sadar bahwa ia
bisa melihat karena dua benda itu. “Oh, ini, ini…mata saya.” Perlahan-lahan Tum
menyadari keberadaan dirinya sendiri. Tum gembira. Lambat laun, ia menyadari
kehadiran orang lain. “Ini istriku, ini, dan ini dua anakku, dan ada banyak
tetangga mengelilingiku. Terimakasih” bisiknya lirih dalam hati.
Kesadarannya pulih; kenangan bermunculan satu-satu. Kini,
betapa ia merasa telah menyia-nyiakan begitu banyak anugerah. “O, diriku,
diriku. Kemana saja diriku selama ini? O, Tuhan…” O, ada air mengalir dari
mata. Ia terkenang akan ketidaksetiannya kepada istri, anak-anak, dan
orang-orang yang begitu mencintainya, yang sekarang sedang memeluknya erat-erat
sambil menangis, “Sadar Pak, sadar!”
Lamat-lamat terdengar paduan suara: “Syukur kepadamu Tuhan,
sumber segala rahmat, meski kami tanpa jasa, Kaujunjung dan Kauangkat. Dosa
kami Kauampuni, Kauberi hidup Ilahi, kami jadi putera-Mu” Tum jadi ingat, ini
adalah malam perayaan Paskah. Seharusnya istrinya telah tampil di Gereja
sebagai pemazmur.
Tum bisa berdiri. Istrinya dan anak-anaknya terkejut, lalu
buru-buru menopangnya. Tum berjalan dipapah istri dan kedua anaknya. Tummembuka
laci lemari. Kemarin ia menyimpan kado kecil untuk istri dan anak-anaknya.
Entah, apa isinya? Tum ingin bicara, tapi belum bisa kecuali di dalam hatinya,
“Aku telah diberi banyak hal yang telah kusia-siakan: hidupku, dan orang-orang
yang mencintaiku.”
Sebelum membuka kado kecil itu, istrinya berbisik di telinga
Tum, “Keselamatanmu lebih penting daripada perayaan paskah, Sayang!” Tum
mendengar. Ia menjawab dengan sebuah senyuman. Mulutnya diam, hatinya
berbicara: “Aku tadi seperti telah mati, kini seperti dilahirkan kembali.
Inilah Paskah terindah, di beranda rumah.”
Sumber : Majalah Hidup, edisi Minggu 29 April 2011